Oleh : I Made Andi Arsana, Ph.D
Sebuah berita dengan headlines “Anies: Reklamasi Itu Pantai, Bukan Pulau” di Kumparan tanggal 23 Juni 2019 menuai perdebatan hangat. Banyak yang menyalahkan Anies Basewedan, Gubernur DKI Jakarta, dengan pernyataan itu. Kini media sosial penuh dengan cela-mencela atau bela-membela seputar istilah reklamasi, pantai dan pulau. Mari kita lihat.
Mari kita ingat, saat kampanye Anies berjanji akan menghentikan reklamasi yang sudah berjalan sejak masa gubernur sebelumnya. Orang melihat ini sebagai janji politik. Yang mendukung Anies tentu berharap janji ini terlaksana dan yang tidak mendukung tentu gelisah menunggu, mungkin sambil berharap juga, bahwa janji ini akan diingkari.
Setelah menjabat ternyata reklamasi memang dihentikan. Tidak ada reklamasi baru. Yang menarik, untuk daratan yang sudah terlanjur direklamasi, Anies mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kesan yang timbul dari ini adalah tidak konsisten. Banyak yang berpandangan, kantanya menghentikan dan menolak reklamasi, kok malah ngasih izin bangunan di lahan hasil reklamasi?!. Jika ditelusuri, ada sumber juga yang mengatakan bahwa janji Anies memang menghentikan reklamasi tapi juga memanfaatkan lahan yang sudah terlanjur direklamasi karena memang tidak mungkin diabaikan/ditelantarkan. Silakan pelajari kebenarannya.
Para pendukung atau yang tidak mendukung kemudian berpendapat. Sayangnya tidak banyak yang obyektif. Berbagai pendapat yang beredar sangat tendensius dipengaruhi posisi dan preferensi politik. Salah satu pendapat yang bagus dan obyektif dari sisi hukum disampaikan oleh sahabat saya, Agung Wardana dari FH UGM di media social (FB), yang membahas dari sisi hukum.
Soal istilah, yaitu pulau, pantai dan reklamasi, menjadi salah satu polemik yang kini hangat. Meskipun sebenernya tidak substansial, isu ini sanggup menyedot perhatian dan membuat banyak orang ‘lupa’, bahwa inti masalahnya adalah lanjut atau tidaknya reklamasi dan bagaimana memanfaatkan lahan yang merupakan hasil dari reklamasi yang sudah terlanjur dilakukan.
Sebenarnya menarik apa yang Anies sampaikan bahwa hasil reklamasi itu bukan pulau tetapi pantai. Mari kita lihat definisi pulau menurut pasal 121 UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Menurut Pasal 121 ayat 1, pulau adalah 1) daratan yang terbentuk alami, 2) dikelilingi oleh air, dan 3) selalu muncul di atas permukaan laut bahkan ketika pasang. Terkait syarat ini, jelas perlu proses pemetaan yang teliti. Di sinilah disiplin hidrografi/geodesi ambil peran.
Selanjutnya ayat 2 Pasal 121 menegaskan bahwa obyek yang memenuhi ketiga syarat di atas berhak atas zona maritim laut teritorial, ZEE, dan landas kontinen. Jika obyek yang dimaksud hanya memenuhi tiga syarat di atas tapi tidak bisa mendukung kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi secara mandiri maka obyek itu tidak disebut pulau tapi karang dan hanya berhak atas laut teritorial. Dengan kata lain, sebuah obyek bisa disebut pulau secara utuh dan berhak atas semua zona maritim seperti diatur UNCLOS jika memenuhi empat syarat yaitu terbentuk alami, dikelilingi air, selalu muncul di atas permukaan laut, dan bisa mendukung kehidupan manusia.
Sekarang mari kita lihat proses reklamasi. Jika ada daratan hasil menimbun laut lalu daratan itu menjadi seperti pulau, apakah daratan itu disebut pulau? Menurut UNCLOS tentu itu bukan pulau karena tidak terbentuk alami. Syarat pertama tidak dipenuhi. Artinya, Anies tidak salah mengatakan bahwa hasil reklamasi itu bukan pulau menurut pengertian UNCLOS. Meski demikian, penyebutan istilah “pulau” untuk hasil reklamasi semacam ini juga sering dilakukan. Misalnya, daratan hasil penimbunan laut di Dubai yang berbentuk daun palm disebut sebagai “Palm Island” atau Pulau Palma.
Dalam UNCLOS, terutama Pasal 60, juga ada istilah “artificial islands” atau pulau buatan untuk menamai obyek-obyek yang tidak terbentuk alami. Artinya istilah “pulau” bisa juga dipakai untuk obyek yang terbentuk oleh proses yang tidak alami seperti reklamasi.
Intinya, mengatakan bahwa hasil reklamasi bukanlah pulau oleh Anies itu juga ada dasarnya dan harus dilihat dari satu konteks legal. Meski begitu, faktanya, obyek hasil penimbunan laut secara tidak alami juga bisa memakai nama dengan istilah “pulau” atau island seperti “artificial islands” alias pulau buatan. Yang pasti, secara legal, obyek yang merupakan hasil buatan manusia itu tidak berhak atas zona maritim sendiri seperti diatur oleh UNCLOS yaitu laut territorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Obyek yang demikian hanya berhakmendapat zona keselamatan laut selebar 500 meter.
Sebenarnya yang lebih penting dari isu ini bukanlah istilahnya tetapi apa yang akan dilakukan terhadap reklamasi itu. Anies harus konsisten dengan janjinya bahwa akan benar-benar menghentikan reklamasi, apapun istilah yang dipakai untuk hasil reklamasi itu, baik pulau, pantai, atau yang lain. Kedua, perlu dipahami dengan jelas dan obyektif janji Anies terhadap daratan yang sudah terlanjut direklamasi. Jika janjinya memang akan memanfaatkan daratan tersebut agar tidak terbengkalai, maka itu harus dilakukan dengan konsekuen, tentu saja dengan memperhatikan berbagai aspek agar tidak ada pihak/aspek yang dirugikan secara negatif. Mari kita kawal dengan kritis dan obyektif.